4/30/2020

Ilmu Buhun : Penjelasan Tayamum

Definisi Tayamum
Tayamum secara bahasa adalah al-qashd, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS al-Baqarah/2: 267.
ولا تيمموا الْخبيث منه تنفقون
Janganlah kamu bermaksud terhadap perkara yang buruk untuk kamu infakkan.  

Sedangkan secara istilah adalah menyapu wajah dan kedua tangan dengan debu yang suci atas jalan yang tertentu sebagaimana firman Allah swt. (QS alMaidah/5: 6)

Artinya : Dan apabila kamu sekalian sakit atau dalam perjalanan, atau sehabis buang air besar, atau bercampur dengan perempuan (isteri), kemudian kamu tidak mendapatkan air (untuk bersuci), maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci). Sapulah muka dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS al-Maidah/5: 6).  

1) Sebab dilakukan tayamum  
Adapun sebab-sebab disyariatkannya tayamum adalah: 
a) Tidak ada air sama sekali atau ada air tetapi tidak cukup untuk dipakai bersuci, berdasarkan hadis Imran bin Husein ra katanya:

ان رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى رجلا معتزلا لم يصل مع القوم ، فقال ما يمنعك يَا فلان ان تصلى فى القوم؟ فقال يَا رسول الله اصابتنى جنابة ولا ماء. فقال عليك بالصعيد فانه يكفيك 

Bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki yang memencil dan tidak salat bersama kaumnya. Rasul kemudian bertanya, “Kenapa Anda tidak salat?” Ujarnya, “Saya dalam keadaan junub, sedang tidak ada air.” Maka Nabi bersabda, “Pergunakanlah tanah, demikian itu cukup bagi Anda.” (HR. Bukhari dan Muslim).  

b) Jika seseorang mempunyai luka atau ditimpa sakit dan ia khawatir dengan memakai air itu penyakitnya jadi bertambah atau lama sembuhnya, baik hal itu diketahuinya sebagai hasil pengalaman atau atas nasihat dokter yang dapat dipercaya berdasarkan hadis Jabir r.a katanya:
Suatu ketika kami pergi untuk perjalanan. Kebetulan salah seorang di antara kami ditimpa sebuah batu yang melukai kepalanya. Kemudian orang itu bermimpi, lalu menanyakan kepada teman-temannya: “Menurut tuan-tuan, dapatkah saya ini keringanan untuk bertayamum?” ujar mereka: “Tak ada bagi Anda keringanan, karena anda bisa mendapatkan air.” Maka orang itupun mandilah dan kebetulan meninggal dunia. Kemudian setelah kami berada di hadapan Rasulullah saw. kami sampaikan peristiwa itu kepadanya. Maka ujarnya, “Mereka telah membunuh orang itu, tentu mereka dibunuh pula oleh Allah! Kenapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu? Obat bodoh tidak lain hanyalah dengan bertanya! Cukuplah bila orang itu bertayamum dan mengeringkan lukanya, atau membalut lukanya dengan kain lalu menyapu bagian atasnya, kemudian membasuh seluruh tubuhnya.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Daruquthni serta dishahihkan oleh Ibnu Sikkin). 

c) Jika air terlalu dingin dan keras dugaannya akan timbul bahaya disebabkan menggunakannya, dengan syarat ia tak sanggup memanaskan air tersebut, walau hanya dengan jalan diupahkan. Atau jika seseorang tidak mudah masuk kamar mandi, berdasarkan hadis Amar bin ‘Ash bahwa tatkala ia dikirim dalam pertempuran berantai, ia berkata, “Pada waktu malam yang amat dingin saya bermimpi. Saya khawatir akan mati jika saya terus juga mandi, maka sayapun bertayamum lalu salat Subuh bersama para sahabat lainnya.” Kemudian tatkala kami telah pulang kepada Rasulullah saw. hal itupun mereka sampaikan kepadanya. Maka Rasulullah saw. bersabda:

يَا عمرو صليت بَصحابك وانت جنب؟ فقلت ذكرت قول الله عز وجل ) ولا تقتلوا انفسكم ان الله  كان بكم رحيما  (فتيممت ثم صليت. فضحك رسول الله ولم يقل شيئا )رواه احمد وابو داود والَاكم والدارقطنى وابن ماجه وابن حبان وعلقه البخارى(

“Hai Amar! Betulkah anda melakukan salat bersama para sahabat padahal ketika itu Anda dalam keadaan junub?” Jawabku, “Aku teringat akan firman Allah Azza wa Jalla, “Janganlah kamu sekali membunuh dirimu! Sungguh Allah maha penyayang terhadap kamu sekalian (al-Nisa/4: 29). Maka akupun bertayamum lalu salat.” Rasulullah hanya tertawa dan tidak mengatakan apaapa." (HR. Ahmad, Abu Daud, Hakim, Daruquthni, dan Ibnu Hibban, sementara Bukhari mengatakan hadis ini muallaq).  

d) Apabila air yang tersedia hanya sedikit sekali dan diperlukan di waktu sekarang atau masa depan yang dekat untuk minumnya atau minum orang lain, atau binatang (walaupun seekor anjing) atau untuk memasak makanannya, atau mencucui pakaian salatnya yang terkena najis. 

2) Rukun-Rukun Tayamum 
a) Niat 
b) Debu yang suci, menurut pendapat empat mazhab yang diuraikan oleh al-Jaziri. Menurutu ulama Syafi’iyah yang dimaksud al-sha’id al-thahur adalah debu yang memiliki ghibar (ngebul). Menurut ulama Hanabilah, sha’id adalah jenis debu yang suci. Menurut ulama Hanafiyah, segala macam yang termasuk dari jenis bumi, seperti pasir, batu, kerikil dan lain sebagainya. Sedangkan menurut ulama Malikiyah adalah segala yang ada di atas bumi.  
c) Menyapu seluruh wajah 
d) Menyapu kedua tangan sampai siku. Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah wajib menyapu tangan hanya sampai pergelangan. Adapun sampai ke dua siku adalah sunah.  

3) Kaifiyat/Tata Cara Tayamum 
Menurut Sayid Sabiq, hendaklah orang yang bertayamum berniat lebih dahulu, kemudian membaca basmalah dan memukulkan kedua telapak tangan ke tanah yang suci, lalu menyapukannya ke muka Begitupun kedua belah tangannya sampai pergelangan tangan. Mengenai hal ini tak ada keterangan yang lebih sah dan lebih tegas dari hadis Umar r.a. katanya, “Aku junub dan tidak mendapatkan air, maka aku bergelimang dengan tanah lalu salat, kemudian kuceritakan hal itu kepada Nabi saw., maka beliau bersabda, “Cukup bila Anda lakukan seperti ini, dipukulkannya kedua telapak tangannya ke tanah, lalu dihembusnya dan kemudian disapukannya ke muka dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim). 
Menurut Sayid Sabiq bahwa tayamum sama dengan wudu, tidak disyaratkan masuknya waktu, serta bagi orang yang telah bertayamum dibolehkan melakukan beberapa salat baik fardu maupun sunah sebanyak yang dikehendaki. Hal ini didasarkan dari Abu Dzar r.a.:
“Bahwa Nabi saw. bersabda, “Tanah itu mensucikan orang Islam, walau ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Maka seandainya ia telah mendapatkan air, hendaklah dibasuhkannya ke kulitnya karena demikian lebih baik.” (HR. Ahmad dan Turmudzi yang menyatakannya shahih).   
Tayamum menjadi batal oleh sesuatu yang membatalkan wudu. Begitupun ia batal disebabkan adanya air. Tetapi, bila seseorang melakukan salat dengan tayamum kemudia ia menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang salatnya walaupun waktu salat masih ada. Hal ini didasarkan pada hadis dari Abu Said al-Khudri r.a. berkata, “Dua orang laki-laki pergi melakukan suatu perjalanan. Maka datanglah waktu salat sedang mereka tidak membawa air, maka mereka bertayamum dengan tanah yang baik kemudiann mengerjakan salat. Kemudian tidak lama, mereka menemukan air. Maka yang seorang mengulangi wudu dan sembahyang, sedang yang seorang lagi tidak mengulangnya. Lalu mereka datang kepada Nabi saw. dan menceritakan peristiwa itu. Nabi saw. pun bersabda kepada orang yang tidak mengulang: “Anda telah berbuat sesuai dengan sunah, dan salat Anda telah terpenuhi”. Ia bersabda pula kepada orang yang mengulang wudu dan salatnya, “Anda mendapat ganjaran dua kali lipat.” (HR. Abu Daud dan Nasai).  
Tetapi bila menemukan air itu, atau dapat menggunakannya setelah mulai salat tapi belum selesai, maka tayamum jadi batal dan ia harus mengulangi bersuci dengan memakai air. Seandainya orang junub atau perempuan haid bertayamum kemudian salat, tidaklah wajib ia mengulangnya. Hanya ia wajib mandi bila telah dapat menemukan air.  

4) Mengusap di atas Pembalut (Perban atau Plaster) 
a) Seorang penderita luka yang khawatir jika menggunakan air dalam wudu atau mandi akan menambah parah lukanya itu atau memperlambat kesembuhannya, dibolehkan mengusap (dengan tangan yang basah) anggota tubuhnya yang terluka. Apabila hal itu membahayakan, hendaknya ia menutup luka itu dengan perban atau pembalut lain. Sebagai pengganti bagian tubuhnya yang tertutup pembalut dan tidak terkena air, hendaklah ia bertayamum. Boleh juga ia mendahulukan tayamumnya sebelum wudu atau mandi.  
b) Cara bersuci di atas pembalut seperti ini menjadi batal, apabila ia dibuka atau luka itu telah sembuh. Segera setelah sembuh, pembalut harus dibuka dan sejak itu harus bersuci kembali secara sempurna. 
c) Apabila yang dibalutkan itu sekitar anggota wudu, maka dibolehkan mengusapkan di atas pembalutnya itu dengan air, sekalipun tidak terkena anggota wudu, tetapi salatnya harus diulangi. Jika sebelum dibalutkan ia dalam keadaan tidak berwudu. Tetapi jika sebelum dibalutkan dalam keadaan berwudu, maka salatnya tidak harus diulang.

Ilmu Buhun : Masalah Shalat

1.    Praktek Shalat
Bolehkah melakukan praktek shalat lengkap dengan sujud didalamnya demi tujuan belajar-mengajar?
Jawaban :  Boleh.

Referensi : Fath al-Baari Syarah Shohih al-Bukhori Karya Syekh Ibn Hajar al-Asqolani, Juz 2 Hal 205, al-Taufiqiyah yang bunyinya Abi Qilabah berkata :”Kami didatangi Malik Ibn al-Huwairis dalam masjid kami. Beliau berkata : “Sesungguhnya aku shalat dengan kalian. Sedangkan aku tidak menginginkannya. Aku shalat sebagaimana aku melihat Nabi SAW shalat.” Seakan-akan Malik Ibn al-Huwairis berkata, “Yang mendorongku melakukan ini bukanlah untuk melakukan shalat tertentu (ad’, i’adah, atau yang lain). Tetapi tujuanku adalah mengajari kalian.” Seakan-akan hal tersebut fardhu ‘ain bagi beliau. Karena beliau adalah salah seorang yang mendengar sabda Nabi SAW. “Shalatlah kalian seperti melihatku shalat.” Beliau meyakini bahwa mengajar dengan praktek lebih jelas dari pada dengan teori. Hadis ini menjadi dalil diperbolehkannya mengajari shalat dengan cara seperti itu (praktek).

2.    Suara Keras saat praktek shalat
Bolehkah menyuruh murid mempraktekkan bacaan shalat dzuhur atau ashar dengan suara keras dalam rangka pembelajaran?
Jawaban :  Boleh.

Referensi : Bughyah al-Mustarsyidin Karya Sayyid abd al-Rohman bin Muhammad bin Husain Baa’alawi, Hal 76, al-Haromain yang bunyinya Diperbolehkan berjamaah dalam shalat witir dan shalat tasbih. Hukumnya tidak makruh dan juga tidak mendapat pahala berjamaah. Akan tetapi, jika tujuannya untuk mengajari para jamaah dan memotifasi mereka, maka ia mendapatkan pahala. Karena banyak pahala yang bisa dihasilkan dengan niat baik. Sebagaimana diperbolehkannya membaca lantang pada shalat yang pelan (yang hukum dasarnya makruh) karena untuk pembelajaran, apalagi sesuatu yang pada dasarnya mubah.


3.    Subuh Rasa Dhuha
Apa hukumnya meninggalkan doa Qunut bagi orang yang shalat subuh Qodo karena malu jika sampai ketahuan orang lain?
Jawaban :  Boleh, bahkan sunnah jika bertujuan untuk menghindari gunjingan orang lain.

Referensi : Busyro al-Kariim Syarah Masaa-il al-Ta’liim Karya Syekh Sa’id bin Muhammad Baa’asyin, Juz 1, Hal 88, al-Haromain yang bunyinya Sunnah menyembunyikan segala sesuatu yang dapat menjadi bahan gunjingan masyarakat. Seperti halnya seseorang yang tidur hingga meninggalkan shalat subuh dan wudhu setelah matahari terbit. Hendaknya ia membuat orang menyangka sedang melaksanakan shalat dhuha.

4.    Lupa jumlah Tanggungan Qodo
Bagaimana apabila lupa berapa jumlah shalat yang wajib di qodo?
Jawaban :  Wajib shalat qodo sejumlah shalat yang belum yakin sudah dikerjakan.

Referensi : Bughyah al-Mustarsyidin Karya Sayyid abd al-Rohman bin Muhammad bin Husain Baa’alawi, Hal 36, al-Haromain yang bunyinya Seorang yang ragu berapa jumlah shalat yang harus di qodo, wajib mengqodo setiap shalat yang tidak diaykini telah dilakukannya sesuai pendapat Ibn Hajar dan al-Romli. Dan menurut Imam Qoffal, wajib mengqodo shalat yang yakin telah ditinggalkan.

5.    Bangun tidur saat Waktu Shalat Hampir Habis
Ketika waktu shalat tinggal dua atau tiga menit, apakah orang yang baru saja bangun wajib segera melakukan shalat?
Jawaban : Tidak wajib segera melakukan shalat. Akan tetapi, dia wajib mengqodonya.

Referensi : Fatawi al-Romli Karya Syekh Syihabuddin ahmad bin al-romli, Juz 1, Hal 64, Daar al-kutub al-‘ilmiyyah yang bunyinya Orang yang bangun tidur dan masih tersisa waktu yang hanya cukup untuk wudhu atau sebagian saja, apakah wajib mengerjakannya seketika? Atau orang tersebut hukumnya sama seperti orang yang meninggalkan shalat sebab udzur? Jawabannya, hukum orang tersebut sama seperti hukum orang yang meninggalkan shalat sebab udzur. Maka tidak wajib mengqodoi seketika.

6.    Qodo Shalat Bagi Orang yang Taubat
Karena sudah bertahun-tahun tidak pernah shalat, berat bagi orang yang baru saja bertaubat untuk meng-qodho shalat yang ia tinggalkan. Adakah pendapat Ulama yang mengatakan shalat yang sengaja ditinggalkan tidak perlu di qodoi?
Jawaban : Ada, yakni pendapat cucu Imam Syafi’i yang didukung oleh pendapat Syekh ‘Izz al-Diin dan Syekh Taj al-Din
Catatan : Menurut pendapat diatas, tetap wajib bagi pelakunya untuk bertaubat dengan cara menjaga shalat sebaik-baiknya.

Referensi : Hasyiyah ‘Amiroh all Syarah al-Mahalli Karya Syekh Ahmad al-Burullusi al-Mulaqqob Bi ‘Amiiroh, Juz 1, Hal 135, al-Haromain  yang bunyinya Ibn Kajj meriwayatkan keterangan dari Cucu Imam Syafii bahwa, shalat yang ditinggalkan karena selain udzur tidak wajib qodo. Berlandaskan pemahaman hadis, “Barang siapa yang lupa shalat atau tertidur.”Dst. Al-Isnawi berpendapat, hikamh tidak adanya qodo ialah untuk memberatkan. Sebab, saking besarnya dosa meninggalkan shalat, meskipun di qodo-i, belum cukup untuk menebusnya. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama dan dikuatkan oleh Syekh ‘izz al-Diin dan Syekh Taj al-Din dalam kitab Iqlid.

7.    Tidak segera mengqodo Shalat yang ditinggalkan
Karena ada suatu halangan atau keperluan, bolehkah menunda shalat qodo yang ditinggalkan dengan sengaja?
Jawaban : Boleh, menurut ulama irak. Karena qodo sholat yang sengaja ditinggalkan, menurut pendapat ini, tidak harus segera dilaksanakan.

Referensi : al-Najm al-Wahhaaj Syarah al-Minhaj Karya Syekh Kamaluddin Muhammad nin Musa al-Damiri, Juz 2, Hal 28, Daar al-Minhaj yang bunyinya Disunnahkan bersegera mengqodo shalat agar cepat terbebas dari tanggungan, jika shalat ditinggalkan karena udzur seperti tidur atau lupa. Jika bukan karena udzur, maka wajib segera melakukan qodo. Dan ini adalah pendapat ulama khurrasan. Menurut qoul ashoh Ulama irak, sunnah bersegera melakukan qodo secara mtlak.

8.    Qodo bagi orang yang di Bius
Wajibkah mengqodo bagi orang yang dibius dalam rangka pengobatan?
Jawaban :  Tidak wajib, tetapi hukumnya sunnah.

Referensi : al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab Karya Imam abi Zakariyya Muhyiddin bin Syorof al-Nawawi, Juz 3, Hal 8, Daar al-Fikr yang bunyinya Boleh minum obat yang dapat menghilangkan kesadaran karena hajat. Jika kesadaran hilang dalam kondisiseperti itu. Maka tidak wajib qodo setelah sadar. Karena hilangnya kesadaran disebabkan oleh sesuatu yang tidak di haramkan.

9.    Lupa Shalat karena sibuk bekerja
Apakah berdosa bila shalat lupa dilaksanakan karena sibuk bekerja?
Jawaban :  Jika saat masuk waktu sudah ada niat mengerjakan shalat, maka tidak berdosa.

Referensi : Hasyiyah al-Bujairomi alaa al-Khotiib Karya Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairomi, Juz 2, Hal 42, Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah yang bunyinya Jika sudah masuk waktu shalat dan seseorang berniat melaksanakan shalat, kemudian dia sibuk belajar, bekerja, atau yang lain hingga ia lupa tidak shalat sampai waktu shalat habis, apakah ia berdosa atau tidak? Masalah ini butuh pemikiran lebih lanjut. Akan tetapi, yang lebih mendekati kebenaran adalah dia tidak berdosa. Karena lupa pada kasus ini muncul bukan dari kecerobohan.

10.    Membangunkan orang tidur untuk Shalat
Apa hukum membangunkan orang tidur untuk melaksanakan shalat?
Jawaban :  Hukumnya sunnah. Kecuali jika tidurnya diketahui sebab ceroboh, seperti tidur setelah adzan dan sulit dibangunkan. Jika demikian, maka hukum membangunkannya menjadi wajib.

Referensi : Kasyifatussaja Syarah Safinah al-Najah Karya Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani, Hal 50, al-haromain yang bunyinya Wajib membangunkan orang yang tidur setelah masuk waktu shalat. Sunnah membangunkan orang yang tidur sebelum masuk waktu, jika khawatir terjadi dampak buruk supaya dia bisa shalat pada waktunya.

4/29/2020

Ilmu Buhun : Masalah Adzan dan Iqomat

1.    Menjawab Adzan TV
Apakah Sunnah menjawab Adzan yang dikumandangkan di Televisi saat masuk waktu Shalat?
Jawaban :  Memandang Adzan TV adalah rekaman, hukum menjawabnya adalah tidak sunnah.

Referensi : Qurrotul Ain Bi Fataawii Ismaa’iil Zain Karya al-‘Alamah al-Jaliil Ismaa’iil Zain, Hal 52, Ma’had ‘Ulum al-Syar’iyyah yang bunyinya Ketika adzan yang berasal dari rekaman Kaset, maka tidak disunnahkan menjawabnya karena rekaman hanya pengulang. Pengulangan Adzan tidaklah sunnah di jawab.

2.    Menjawab Banyak Adzan
Bagaimana cara yang benar dalam menjawab Adzan yang bersahut-sahutan?
Jawaban :  Cukup menjawab satu kali.

Referensi : Hasyiyah Ia’nah al-Tholibin alaa Fathil Mu’in Karya al-‘Alamah Abi Bakar al-Syatho, Juz 1, Hal 241, al-Haromain yang bunyinya al-Romli dalam kitab al-Nihayah berkata : “Sering sekali terjadi para muadzin adzan dan suara mereka saling bersahutan di telinga pendengar. Sebagian Ulama berpendapat tidak di sunnahkan menjawab adzan mereka.” Syekh ‘Izz al-Diin berfatwa tetap sunnah menjawab adzan mereka. ‘Ali Imam Syibramulisi menafsiri fatwa tersebut dengan sunnah menjawab dengan satu jawaban. Hal itu bisa dilakukan dengan menunda jawaban kalimat adzan, sehingga dia menduga semua muadzin sudah mengucapkan kalimat tersebut. Baik jawaban adzan dilakukan bersamaan atau diakhirkan.

3.    Adzan pada Saat Jam Sekolah
Apa yang baik dilakukan saat mendengar adzan bersamaan dengan kegiatan belajar mengajar?
Jawaban :  Lebih baik menghentikan kegiatan sejenak, demi mendengarkan dan menjawab adzan.

Referensi : Hasyiyah Ia’nah al-Tholibin alaa Fathil Mu’in Karya al-‘Alamah Abi Bakar al-Syatho, Juz 1, Hal 241, al-Haromain yang bunyinya Setiap sunnah memiliki waktu khusus. Menjawab adzan ada waktunya, belajar ada waktunya, bertasbih ada waktunya, membaca al-Qur’an ada waktunya. Banyak orang tidak mau menjawab adzan. Bahkan terkadang tidak shalat berjamaah hingga orang-orang selesai jamaah saat mereka masih belajar ilmu nahwu, ushul, atau fiqih. Mereka mengatakan, “Ilmu mutlak harus didahulukan.” Padahal yang benar tidak seperti itu. Dalam masalah ini terdapat perincian. Tidak semua ilmu harus di dahulukan pada saat ini daripada shalat berjamaah.

4.    Mendengar Adzan saat Baca al-Qur’an
Apa yang sebaiknya dilakukan jika mendengar adzan saat membaca al-Qur’an?
Jawaban :  Berhenti sejenak dan menjawab adzan.

Referensi : Hasyiyah Ia’nah al-Tholibin alaa Fathil Mu’in Karya al-‘Alamah Abi Bakar al-Syatho, Juz 1, Hal 241, al-Haromain yang bunyinya Ketika yang mendengar adzan sedang membaca al-Qur’an, berdzikir, atau berdo’a, sunnah baginya menjawab adzan dan menghentikan kegiatannya.

5.    Muadzin tidak punya Wudhu
Apakah boleh orang yang berhadas mengumandangkan adzan?
Jawaban : Boleh, tetapi makruh.

Referensi : Syarah al-Mahalli alaa al-Minhaaj Karya Syekh jalal al-Diin Muhammad ahmad al-Mahalli, Hal 46, Maktabah al-Salam yang bunyinya Makruh adzan bagi orang yang hadas. Karena hadist riwayat al-Tarmidzi, “Janganlah adzan kecuali orang yang berwudhu.” Dan adzan sangat makruh dilakukan oleh orang yang hadas besar.

6.    Kentut ditengah adzan
Bolehkah seorang muadzin memutus adzannya, ketika ditengah-tengah adzan ia kentut?
Jawaban : Boleh, tetapi disunnahkan meneruskan adzannya sampai selesai.

Referensi : Mughni al-Muhtaaj Karya Syekh Muhammad al-Khotib al-Syarbini, Juz 1, Hal 333, Daar al-Hadis  yang bunyinya Disunnahkan bagi seorang muadzin untuk meneruskan adzan atau iqomatnya ketika ia hadas. Tidak sunnah memutusnya karena ingin wudhu. Karena hal itu memberi kesan bermain-main. Jika ia ingin bersuci dan waktunya tidak lama, maka setelah kembali ia boleh meneruskan adzan. Meski yang lebih utama adalah mengulang adzan dari awal.

7.    Adzan anak Kecil
Apakah boleh anak kecil mengumandangkan adzan?
Jawaban : Boleh, selama anak tersebut sudah tamyiz.

Referensi : Syarah al-Mahalli alaa al-Minhaaj Karya Syekh jalal al-Diin Muhammad ahmad al-Mahalli, Hal 46, al-Salam yang bunyinya Syarat muadzin adalah Islam dan Tamyiz. Tidak sah adzan orang kafir, anak yang belum tamyiz, orang gila, dan orang mabuk karena adzan adalah ibadah, sedangkan mereka bukan termasuk ahli ibadah.

8.    Iqomat Bagi wanita
Apa hukum wanita mengumandangkan Iqomat?
Jawaban :  Sunnah jika seluruh jamaahnya wanita. Dan pada tempat jamaah tidak ada laki-laki yang bukan Mahrom.

Referensi : Hasyiyah Ia’nah al-Tholibin alaa Fathil Mu’in Karya al-‘Alamah Abi Bakar al-Syatho, Juz 1, Hal 233, al-Haromain yang bunyinya Sunnah Iqomat bagi perempuan secara pelan untuk dirinya sendiri dan wanita lainnya, bukan untuk laki-laki ataupun khunsa. Jika ia beriqomat untuk para jamaah wanita, maka sunnah mengeraskan suara dengan volume yang bisa didengar jamaah. Dengan syarat disana tidak ada laki-laki yang bukan mahrom.

9.    Adzan dan Iqomat untuk Shalat Ied
Apakah disunnahkan adzan dan iqomat ketika hendak melaksanakan shalat Ied?
Jawaban :  Tidak disunnahkan, bahkan Haram. Yang disunnahkan adalah membaca Al-Sholaatu Jaami’ah.

Referensi : Bughyah al-Mustarsyidin Karya Sayyid abd al-Rohman bin Muhammad bin Husain Baa’alawi, Juz 1, Hal 60, Daar al-Fikr yang bunyinya Adzan dan Iqomat untuk shalat Ied hukumnya haram. Karena dia melakukan ibadah yang tidak sah, seperti halnya adzan sebelum waktunya. Dalam kitabnya, al-Romli menyebutkan hukumnya. Pendapat ini mungkin berlaku pada kasus ketika adzan bukan dengan tujuan shalat Ied.

10.    Ibu mengadzani Bayi
Bolehkah bagi ibu mengadzani bayi yang baru lahir?
Jawaban :  Boleh, karena tujuan adzan dalam konteks ini adalah murni mencari berkah.

Referensi : Hasyiyah al-Bujairomi alaa al-Khotiib Karya Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairomi, Juz 5, Hal 259, Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah yang bunyinya Disunnahkan adzan pada telinga bayi yang baru lahir, meskipun yang adzan adalah perempuan. Karena ini bukanlah adzan yang menjadi aktifitas laki-laki, melainkan sebagai dzikir untuk mendapatkan keberkahan.

11.    Mendengarkan Adzan saat di WC
Apa hukum menjawab adzan saat sedang buang air besar di WC?
Jawaban :  Hukumnya Makruh. Dalam keadaan ini, orang tersebut tetap disunnahkan menjawab adzan saat selesai buang air, selama jarak adzan dan selesainya buang air tidak lama.

Referensi : Fathul Mu’in Syarah Qurrotul ‘Ain Karya Imam Zainuddin al-Maliibari, Hal 63, Daar al-Kutub al-Islamiyyah yang bunyinya Makruh menjawab adzan bagi orang yang sedang berhubungan badan dan orang yang buang air. Bagi keduanya sunnah menjawab adzan setelah selesai, jika jaraknya tidak terlalu lama.

12.    Adzan Saat Bencana
Apa hukum mengumandangkan adzan saat terjadi bencana?
Jawaban :  Hukumnya Sunnah.

Referensi : Fathul Mu’in Syarah Qurrotul ‘Ain Karya Imam Zainuddin al-Maliibari, Hal 61, Daar al-Kutub al-Islamiyyah yang bunyinya Terkadang adzan juga sunnah untuk selain shalat. Seperti adzan ditelinga orang yang kesusahan, orang yang dihantui Jin, orang yang marah, atau hewan yang berperangai buruk, ketika kebakaran, adzan dan iqomat untuk bayi yang baru lahir, dan adzan ketika hendak bepergian.