Kalimat-kalimat yang sangat menyakitkan hati masih sering dilontarkan dari satu golongan islam kepada yang lainnya.
Kalimat-kalimat itu kita sebutkan disini dengan terus terang, dan mohon maaf atas keterus terangan ini, yaitu seperti : "Kyai Kampungan, Kyai Bodoh, Kyai berfikir sempit hanya tahu ilmu agama saja, harus belajar dooong..." ini keluar dari satu fihak, dan dari fihak lainnya : "Mujtahid gadungan, ngaku pinter, tidak tahu etiket, seperti katak dalam tempurung, merasa paling jagoan sendiri". Kalimat-kalimat seperti itu hanya bisa di ucapkan dengan penuh emosi. Yang pasti orang-orang mencetuskan kata-kata yang menyakitkan hati itu adalah bukan orang-orang cendikiawan. Kita menilai indikator istimewa kecendikiawanan ialah bahwa logikanya mampu menguasai emosinya. Kekuatan berfikir yang dominan dalam dirinya. Untuk menentukan skala prioritas dalam menangani permasalahan yang kita hadapi ialah kita tentukan dari segi dampaknya terhadap kehidupan bernegara. Kerukunan antar agama-agama yang berbeda yang lebih penting, ataukah kerukunan antar golongan dalam satu agama. Kita melihat keduanya adalah masalah yang harus di selesaikan, tetapi mungkin fihak yang menyelesaikannya yang berbeda. Kita serahkan saja penyelesaian masalah antara golongan dikalangan umat islam kepada yang mulia para Alim Ulama dan yang terhormat para cendekiawan muslim.
Kita berdiri di tengah dengan jarak yang sama antara mereka dengan kita. Bahkan kita dapat menilai bahwa perbedaan pendapat itu bukan masalah, malah sebaliknya, adalah sebagai indikator bahwa mereka benar-benar hidup dan dinamis. Karena "Perbedaan pendapat para Ulama itu sebagai Rahmat". Penyelesaian yang kita inginkan bukan supaya mereka mempunyai pendapat yang sama, karena ini tidak mungkin terjadi. Bisa saja terjadi, tidak ada pendapat yang berbeda, semuanya sama, yaitu dengan cara yang paling mudah, kebebasan berfikir kita coret. Tetapi ini tidak dikehendaki oleh siapapun. Yang paling penting ialah masing-masing menghindari mengeluarkan statemen yang mungkin menyakitkan hati.
0 Comments:
Post a Comment